Meski baru berusia 24 tahun, namun Provinsi Bangka Belitung memiliki sejarah yang amat panjang.
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung ditetapkan sebagai provinsi ke-31 oleh Pemerintah Republik Indonesia, berdasarkan Undang-Undang No. 27 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Sebelumnya, wilayah yang dikenal dengan keindahan alamnya ini merupakan bagian dari Provinsi Sumatera Selatan.
Meski baru menginjak usia 24 tahun, namun Provinsi Kepulauan Bangka Belitung memiliki sejarah yang amat panjang. Bahkan menurut catatan dari sejarawan George Cœdès, sebelum abad pertama banyak pelaut dari india yang telah berdatangan ke Wangka (sekarang Pulau Bangka). Wangka sendiri dalam bahasa Sansekerta berarti timah.
Nama Wangka juga disebut dalam sebuah karya sastra Buddha yang ditulis pada abad ke-3 Masehi (Mahaniddesa). Selain Wangka, karya tersebut juga menyebut nama wilayah-wilayah lainnya, seperti Swarnnabhūmi yang diidentifikasikan sebagai Sumatra, kemudian disebut juga wilayah Jawa.
Sejarah Pulau Bangka juga dapat ditelusuri melalui prasasti Kota Kapur peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang diperkirakan dibuat pada abad ke-7 atau tepatnya tahun 686 Masehi. Dari prasasti yang ditemukan di Desa Penagan, Kecamatan Mendo Barat, Kabupaten Bangka itu, dapat diketahui telah ada hunian dan perkembangan peradaban sejak abad ke-7.
Di samping catatan sejarah tersebut, Pulau Bangka juga sudah cukup dikenal oleh para pelaut, baik itu pelaut Melayu maupun Tiongkok. Mengingat di Pulau Bangka terdapat Gunung Menumbing yang menjadi pedoman bagi para pelaut untuk menentukan rutenya.
Bukit Menumbing juga masuk ke dalam peta Mao K’un yang dibuat oleh Ma-huan pada sekitar awal abad ke-15. Di dalam peta tersebut, Gunung Menumbing disebut sebagai Peng-chia Shan. Kata Shan sendiri jika terjemahkan dari bahasa Cina ke Indonesia adalah gunung.
Sementara Pulau Belitung mulai dikenal pada abad ke-13, berdasarkan catatan Tiongkok. Di mana dalam catatan itu diceritakan bahwa armada Mongol yang hendak menyerang Siŋhasāri (1293) terpaksa harus singgah di Pulau Belitung, yang disebut sebagai Kau-lan dalam catatan tersebut. Di Pulau Belitung, armada Mongol memperbaiki kapal-kapal mereka yang rusak dan membuat perahu yang lebih kecil untuk bisa mengarungi sungai.
Sementara pada masa kerajaan, Pulau Belitung merupakan bagian dari Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7. Kemudian ketika Kerjaan Majapahit berkuasa, Pulau Belitung menjadi salah satu benteng pertahanan laut kerajaan tersebut; tepatnya pada periode abad ke-14.
Selanjutnya, Pulau Belitung menjadi wilayah taklukan Kesultanan Palembang. Kemudian sejak abad ke-15, lahir beberapa kerajaan di wilayah tersebut, seperti Kerajaan Badau dan Kerjaan Balok.
Pada masa kolonialisme, baik Pulau Bangka dan Pulau Belitung pernah menjadi jajahan Inggris. Hingga akhirnya Inggris menyerahkan daerah kekuasaannya tersebut ke Belanda pada 10 Desember 1816, di Muntok, Kabupaten Bangka Barat.
Selama masa pendudukan Belanda, masyarakat Bangka Belitung gencar melakukan perlawanan di bawah kepemimpinan Depati Barin. Salah satu perlawanan yang cukup ikonik adalah Perang Bangka I, yang terjadi pada tahun 1819-1828.
Setelah Depati Barin wafat, perjuangannya dilanjutkan oleh sang anak Depati Amir. Perlawanan Depati yang menggema ke seantero Pulau Bangka membuat Belanda kewalahan dan menggangu bisnis penambangan timahnya. Atas alasan tersebut, Depati Amir ditangkap dan diasingkan ke Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Untuk mengenang jasanya, nama Depati Amir diabadikan sebagai nama Bandara kebanggaan masyarakat Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, yakni Bandara Depati Amir.
Pasca Proklamasi Kemerdekaan, Pemerintahan Belanda yang belum rela mengakui kemerdekaan Indonesia membentuk Dewan Bangka Sementara (Voolopige Bangka Raad) pada tahun 1946. Kemudian pada tahun 1948, terjadi penggabungan Dewan Riau dan Dewan Belitung dalam satu federasi, yakni Federasi Bangka Belitung Riau (Babiri).
Tahun 1950, negera federal dibubarkan dan Bangka Belitung kembali ke NKRI. Selanjutnya wilayah Bangka Belitung diserahkan kepada Gubernur Sumatra Selatan, dengan status sebagai kabupaten yang memiliki lima Kewedanaan dan 13 Kecamatan di bawah Provinsi Sumatra Selatan. Hal tersebut sesuai dengan Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 156. LN 1956/tln 1091.
Meski begitu, masuknya wilayah Bangka Belitung ke dalam Provinsi Sumatra Selatan tidak lantas membuat masyarakat Bumi Serumpun Sebalai puas. Masyarakat tetap menginginkan Bangka Belitung menjadi wilayah otonom setingkat provinsi.
Alasannya demi mengakselerasi pembangunan di Bangka Belitung sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Akhirnya perjuangan masyarakat Bangka Belitung membuahkan hasil, di mana pada tanggal 21 November 2000, Pemerintah Republik Indonesia melalui Undang-Undang No. 27 Tahun 2000 menetapkan pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Tanggal 21 November kemudian juga diperingati sebagai hari jadi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.